Memahami Proses Transformasi Diri

Raihana Mahmud



Kuliah kesadaran hari ini sedikit membingungkanku pada awalnya. Akan tetapi, saat sistem kuliah diubah menjadi partisipatif, aku terjaga dan semua materi perlahan-lahan aku pahami. Begitu dahsyatnya masuknya sebuah ilmu, jika kita berperan aktif di dalamnya. Begitu selalu yang dianjurkan oleh Bang Aswar sebagai pemateri utama. Selama ini, aku memang selalu menuliskan setiap ringkasan yang aku dapat tangkap ke sobekan-sobekan kertas yang telah aku sediakan khusus. Mengapa tidak di buku? Aku sudah pernah menuliskannya juga di buku, tetapi menulis di potongan kertas ini lebih berbekas padaku. Aku jadi terbayang saat kuliah dulu pun begitu. Biasanya aku akan menuliskan setiap materi kuliah yang kuikuti di kertas corat-coret terlebih dahulu. Setelah itu aku akan menuliskannya semula di buku. Ini juga adalah cara belajar bagiku. Saat ini pula, ringkasan kuliah online yang kuikuti, akan kutulis semula di media sosial. Bagiku, ini juga upaya untuk belajar kembali.

Hari ini, tema besar yang diangkat adalah Menuju Dimensi 5++.  Pembahasan masih tetap memberi penekanan pada dualitas dan nondualitas. Fokus pembelajaran pada membedakan healing dan treatment.

Healing dan treatment adalah dua hal yang berguna bagi masyarakat, tetapi mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan dari treatment adalah mengendalikan atau mengelola gejala, yang berdasarkan proses terapi. Sementara healing bertujuan melampaui gejala, dan merupakan sebuah proses transformasi. Bagaimana logika terapi dan logika transformasi bekerja?

Transformasi  berarti melampaui akar keperiadaan-keperidirian yang terbatas, menuju akar keperiadaan-keperidirian yang tak terbatas. Menukar dari sistem kepercayaan mutlak kepada sistem espitomologi. Espitemik berlandaskan knowledge atau pengetahuan. Espitemik mengajarkan logika sistem di sebaliknya. Mengajarkan bahwa Allah itu adalah source of self dan source of existence. Gerak keduanya akan menuju ke eternal love.

Healing adalah transformasi dari source of existence dan source of self. Transformasi berarti pertumbuhan. Transformasi akar keperiadaan sekaligus keperidirian. Healing memiliki dampak terapeutik yang mendalam dan radikal.

Pada bagian lain dijelaskan lebih lanjut apa saja batas dualitas dan nondualitas.

Dualitas berarti mengenal akar keperiadaan dan keperidirian melalui objek-objek atau gejala di luar diri. Nondualitas pula adalah mengenal akar keperiadaan dan keperidirian pada yang hak/mutlak, pada yang ada atau hadir itu sendiri. Yang ada itu cuma Allah, yang hadir itu adalah Illaullah.

Sebagai contoh, s kecil, atau manusia dualitas. Karena dia mendefinisikan atau mengenal akar keperidirian dan keperiadaan melalui yang lain, maka dirinya mesti diliputi oleh yang lain. Logika sistemnya, karena diri dikenal melalui yang lain, maka asumsi dasarnya bahwa diri diliputi oleh yang lain. Lebih jauh memahaminya jika saya mengenal diriku melalui tubuhku, maka jika tidak ada tubuhku maka saya tidak ada. Tidak melalui tubuhku, maka saya tidak hadir. “Itu ada maka saya ada dan hadir!” Inilah yang disebut melalui yang lain. Contoh lain, saya ada karena keluarga, saya ada karena anak si anu, dan lain sebagainya. Logika sistemnya, saya mengenali diri melalui tubuh. Dari situlah fakta membentuk subjek. Jika sakit gigi, dirinya yang stress, sebagai contoh. Jadi, kalau tubuh sakit, aku ikut sakit.

Inilah waktunya mengenal diri yang bukan diri. Diri dan selain diri itu ada dua. Yaitu tubuh sebagai objek materi dan pikiran sebagai objek abstrak. Objek materi berada di dimensi 3. Sementara objek abstrak berada di dimensi 4. Tubuh bukan hanya ruang kewargaan. Akan tetapi juga merupakan source of self (keperiadaan) dan source of existence (keperidirian).

Ingatan diri yang dikenal melalui objek materi, memorinya panjang sekali. Terapi hanya membuat diri terkurangi bebannya, tidak bisa keluar dari epistemik logika sistemnya. Di sisi yang lain, kita juga tidak bisa menghancurkan tubuh atau keluarga, untuk mendapatkan diri. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah logika sistem epistemiknya. Dalam kondisi begini hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Yang pertama bertahan hidup atau beradaptasi. Terkurung dalam epistimologi dan berebut rantai makanan adalah kondisi masyarakat saat sekarang.

Dua masalah utama dalam dunia epistimologi adalah terpenjara dalam model dunianya atau mengadakan persaingan pola relasi dalam dunia tadi. Yang kita pedulikan selama ini hanyalah treatment-nya. Tanpa melihat benar atau tidak model dunianya dan mengintip coding logika sistemnya. Hanya menyerah pada model dunia yang ada. Dalam dimensi 5 kita diajak mengubah coding model dunianya, sehingga pola relasinya pun jadi berubah.

Treatment hanya peduli dengan coding model relasi dalam model dunia yang sudah pasti. Sementara healing sangat peduli dengan coding di balik model dunia di mana relasi terjadi. Lebih jelas digambarkan dengan piramida keilmuan.

Ada empat bagian dalam piramida keilmuan tersebut. Pada bagian paling bawah adalah level wong cilik. Level yang tidak tahu apa-apa. Bisa makan saja sudah cukup bagi yang berada di level ini. pada level kedua adalah operator/trainer. Level ini biasanya mengambil data dari observer, yaitu level di atasnya. Observer biasanya meneliti semua yang terjadi pada model dunia. Yang membuat model dunia adalah filsuf. Oleh observer, dianggap yang membuat model dunia adalah Tuhan. Observer buta dimensi epistimologi. Level teratas adalah epistimolog. Epistimolog suka mengubah coding. Model dunia dikaji codingnya dan akan diubah jika tidak sesuai.

Setiap level perlu mengadakan transformasi ke epistimolog. Transformasi tersebut jangan linear. Karena akan terlalu lama prosesnya. Jadi dari wong cilik terus transformasi ke epistimolog. Dari operator juga demikian. Terus transformasi ke epistimolog. Demikian juga dari observer terus bertransformasi ke epistimolog.

Jika kita melihat bahasa Al-Qur’an, maka manusia harus menjadi epistimolog. Harus mempunyai kemampuan mengubah coding. Sehingga mampu keluar dari penjara. Transformasi diri hanya bisa diadakan dari kesadaran kepada epistimolog. Setelah punya posisi epistimolog, maka harus dijaga.

 

#raihanamahmud

#KomunitasODOP

#ODOP2022

#WarnaBaruSemangatBaru

#ProgramNulisBarengODOP

#Mei 2022

 

 

 

Comments

  1. Anonymous9:44:00 AM

    Kuliah ini sangat menarik dan membantu meningkatkan kesadaran jiwa Saya. Dan sangat menyentuh esensi beragama bagi saya pribadi. Kuliah ini memberi efek healing yg bersifat permanen karena menyentuh landasan berpikir dan menyikapi hidup, dan juga hubungan kita dengan sang Pencipta. Kelasnya juga dpt diterima secara universal apapun agama anda, walaupun dikuliah ini banyak digunakan istilah2 dalam filsafat Islam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk komentarnya. Benar sekali, kuliah sangat universal. Bersyukur sekali ikut serta di dalamnya.

      Delete
  2. Sudah benar adanya, semoga pemahaman yang membacanya bisa terangkat bersamaan dengan penulis artikel ini, saya suka sentuhan runtutan yang bagus, walaupun pemaknaan dari penulis mungkin perlu ditambahkan untuk menaikkan level diri sendiri juga. Terima kasih, tulisan ini membawa saya flashback pada kenangan Transendensi Level Kesadaran saya sewaktu di Semarang. Terima kasih 🙏🏻😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insyaallah. Terima kasih untuk komentarnya. Saya masih terus belajar untuk menaikkan level diri sendiri. Mungkin di tulisan-tulisan mendatang, saya bisa menuliskan tentang perjalanan tersebut. Sekali lagi, terima kasih.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

INFINITY

SUNGAI CHINCHIN, KAMPUNG DI PINGGIR BANDAR

FENOMENA BEBEK SINJAY: Bangkalan vs Pandan Indah