CERITA DI BALIK TSUNAMI 2004

Berbagai kisah sedih dan memilukan terjadi saat bencana besar tsunami melanda Aceh, tiga belas tahun lalu. Sebagian kisahnya dirangkum dalam artikel ini. Saya mendapatkan kisah-kisah itu dari postingan FB saya, yang meminta menceritakan kisah mereka saat peristiwa dahsyat tersebut terjadi. Tsunami Aceh 2004 telah menjadi viral bertahun-tahun.

Halimursyadah Ria menceritakan:
Pagi itu 26 Desember 2004, Ria, abang Indra dan Rayya (5,5 bulan), adik Nany dan adik Ayi berada di Bogor. Kami sedang kuliah di Bogor. Rumah kediaman kami dititipkan pada adik Muhammad Faisal dan istrinya Cut Eka Helisa (almarhumah syahid dalam tsunami) dan ananda mereka Hadid Khalifa. Sekitar jam 8, adik menghubungi saya ke Bogor sesaat setelah gempa pertama, “Kak, kami gempa disini, kuat sekali, beberapa barang ada yang jatuh dan pecah. Ika sedang membersihkannya. Tetangga belakang, Pak Munir Azis dan istrinya (Alm Kak Cut Ila, terkorban saat tsunami), aquariumnya juga pecah. TV kakak sudah diturunkan ya, takut jatuh”, tambahnya. “Iya dek, gak apa apa”, jawab saya. Seketika itu juga telepon terputus dan berkali-kali saya menghubunginya tak tersambung hingga kemudian kami mendapat info dari breaking news di televisi tentang tsunami. Apa itu? Saya tak pernah dengar sebelumnya. Berjam jam setelah itu hati gundah tak tanggung-tanggung.  Selamatkah mereka. Apa yang terjadi? Kira kira jam 8 malam, Bogor hari itu hujan deras dan mati lampu. Dosen saya, Prof. Syamsooed Sadjad menghubungi lewat telepon rumah. Dengan suara datar beliau menanyakan apakah kediaman anaknya alm Dr. Rosa, dosen MIPA, dekat dengan pantai. Saya menjawab,”Ya Prof..., daerah Lamdingin dekat juga dengan pantai sama seperti Cadek Permai..” Ah.. saya tahu, beliau pasti sangat terpukul. Esok harinya kami belum dapat progress info tentang adik-adik di Banda Aceh. Saya ingin pulang begitu kata saya pada suami. Abang tidak mengizinkannya karena ada baby Rayya. Suami kemudian mengatakan biar abang yang pulang. Dan, akhirnya setelah hari ke 4, kami baru dapat info, adik ipar kami Cut Eka Helisa menjadi korban dan untuk wilayah Cadek Permai banyak sekali korban dan yang berhasil selamat bisa dihitung dengan jari. Adik saya, M. Faisal dan anandanya selamat dalam hempasan air. Hadid berada dalam dekapannya selama dihempas air. Mukjizat! Beberapa hari setelah itu adik-adik saya dan keluarganya mengungsi ke Bogor selama sebulan. begitulah cerita kami. Hingga kami pun direlokasi ke Sektor Timur saat ini sebagai kaum Muhajirin.

Kisah yang sangat menyayat hati dikongsikan oleh Kak Nana dari Pernik Rumah Al Fattah:
Pagi itu selesai memandikan anak-anak dan memberi mereka  sarapan seperti biasanya. Anak-anak kemudian menonton Doraemon di TV dan saya mencuci piring. Tiba-tiba terjadi gempa maha dasyat.  Anak-anak berteriak  ketakutan.  Saya hanya mampu memeluk mereka.. Hanya asma Allah yang mampu terucap sambil terus berusaha membuka pintu dan membawa ketiga anak keluar rumah. Ayahnya sehabis subuh tadi berangkat ke laut untuk memancing, hobi yang sudah 2 bulan tidak dilakukannya. Setelah berhasil keluar rumah, saya pandangi si adek yang berusia 16 bulan, si kakak yang berusia 9 tahun saat itu, dan  si tengah berusia 4.5 tahun. Mereka semua terdiam menatap saya dengan pandangan sendu.

Tak berapa lama setelah gempa kuat, dari kejauhaan terlihat pohon-pohon tumbang. Ya Allah, apa itu hitam bergulung? “Lariiii....!” teriak orang-orang. Anak-anak semakin ketakutan, saya terus berusaha membawa lari mereka. Kebetulan adik laki-laki saya yang sedang kuliah di Unsyiah, begitu gempa dia datang melihat saya. Dia membantu menggendong anak saya yang kedua. Saya pula menggendong si kecil dan memegang tangan si kakak. Kami berlari tanpa berani melihat ke belakang. Allahuakbar....! Air semakin mendekat, kaki tak mampu lagi berlari dan kami berlindung di balik gedung. Saya lihat betapa ramainya saat itu berada di balik gedung itu. Tidak ada yang menangis dan bersuara. Kami hanya saling menatap. Saya peluk anak  dan  menunggu bala yang akan menimpa kami. Tiba-tiba air bah itu menghantam tubuh adik saya yang anak saya dalam gendongannya. Ya Allah, saya tak bisa menolongnya, hanya mampu melihat. Saya dan anak yang pertama pun digulung air tsunami. Saya hanya pasrah dalam air. Hanya doa tak henti terucap memohon pada Allah untuk melindungi anak-anak. Air terus menyeret kami. Saya peluk bayi dalam gendongan, tangan saya terpegang tali. Ternyata saya tersangkut di kabel listrik. Apalah daya tangan satu memegang kabel. Saya tak bisa berbuat apa-apa pada anak dalam gendongan yang terendam air. Sekuat tenaga saya berusaha bergerak untuk naik ke atas tembok pagar rumah orang. Si adik berhasil saya angkat kepalanya, Tapi, saya melihat napas terakhirnya dan hanya mampu menatapnya. Tidak ada tangis waktu itu, cuma ketidakpastian itu nyata atau mimpi. Sambil menggendong jenazah, saya berusaha naik ke atas atap rumah orang. Saat naik, kaki terasa berat. Tahu kenapa? Ternyata kaki saya menancap di besi pagar tembok orang. Tidak ada rasa sakit sedikit pun. Saya tarik kaki pelan-pelan, tidak ada darah sedikit pun, padahal luka menganga. Seminggu sesudah kejadian baru terasa sakitnya. Setelah di atas atap rumah orang, air mulai surut. Mulai terdengar suara tangisan dan teriakan minta tolong. Saya masih bingung dengan apa yang terjadi. Dua anak dan adik lelaki saya entah dimana. Tidak berapa lama baru saya lihat adik saya. Saya berteriak memanggilnya, karena saya melihat anak-anak tidak ada bersamanya. Saya di situ seperti tidak sadar, terus menangis memanggil anak-anak. Bayi dalam gendongan telah tak bernyawa, yang dua lagi dan ayahnya tidak tahu bagaimana nasibnya. Saya dibawa turun. Saat saya berjalan tanpa daya, tiba-tiba terdengar suara teriakan, “Ummmiiii....”. Ya Allah, si kakak, dia di pohon mangga. Allahuakbar, saya seperti kembali bernyawa. Adik saya langsung berlari dan menurunkan si kakak. Saya peluk dia yang sangat ketakutan. Singkat cerita anak saya dikebumikan sebelum Zuhur di pesantren di Jeumpet. Jenazah pertama yang dikuburkan di sana. Anak yang kedua ditemukan hari ke 3. Dikebumikan di Ketapang, secara wajar, tidak di kuburan massal. Ayahnya sampai sekarang tidak ketemu.

Si kakak sudah berumur 21 tahun. Baru saja selesai wisuda. Selama 1 tahun pasca tsunami saya dalam keadaan trauma. Perlahan berkat dukungan dan doa keluarga, saya berhasil bangkit dan menata kehidupan bersama anak. Saya jadi kuat dan mandiri. Saya percaya Allah tidak memberi ujian di luar batas kemampuan kita menanggungnya. Dan, pasti ada hikmah di balik musibah. Ini lah sedikit cerita saya.  Kesedihan yang begitu berat yang harus saya terima. Seperti menuangkan luapan hati, berbagi kesedihan di hati ini, tepat di 13 tahun tsunami.


Penampakan kapal pembangkit listrik PLTD Apung,
sebulan setelah kejadian, yang terdampar di sebuah kampung,
lebih kurang 4 km dari tempatnya berlabuh. 

Cerita tidak hanya datang dari Aceh, tapi juga dari teman-teman yang sedang berada jauh dari Aceh saat itu. Salah satunya kisah yang disampaikan Kak Rita Audriyanti, yang saat itu berada di Jeddah, Arab Saudi.

Siang itu, ramai tetangga kami di kompon (sebutan untuk kompleks perumahan di Kota Jeddah, Arab Saudi) yang bertanya kepadaku ada apa di Aceh. “Aceh? What happened with Aceh?” Kataku balik bertanya. “You dont know, it is tsunami...,” kata Huma, tetanggaku orang Pakistan. Buru-buru aku lari ke rumah. Stel TV tapi tak ada berita. Maklum, karena jarang nonton TV dan cuma punya saluran TV lokal Arab saja, tentunya berita tentang tsunami di Aceh tidak seviral CNN atau BBC. Tanpa pikir panjang lagi, aku kontak teman yang pandai merakit antene parabola. Malam itu, akhirnya rumah kami punya TV dengan 2000 saluran lebih. Tapi kami lebih fokus dengan berita musibah tsunami di Aceh yang dampaknya luar biasa itu. Sama seperti kawan-kawan yang lain, air mata duka tak habis-habi mengalir di mata ini. Salah satu bentuk kepedulian kami sebagai warga Indonesia yang tinggal di Jeddah dan sekitarnya, kami menggalang dana bantuan korban bencana Tsunami Aceh melalui Bazar Amal bersama DWP KJRI Jeddah. Alhamdulilah, lumayan partisipasi warga. Saya ingat juga, sebagai salah seorang panitia, saya sempat juga diwawancarai koran Arab News waktu bazar.

Lama setelah itu, tahun 2013, saya diajak suami ke Aceh. Selama beliau bertugas, saya ditemani si bungsu dan seorang pemandu, mengantar kami city tour dengan mengunjungi situs-situs bekas korban tsunami. Kami mengunjungi sebuah rumah yang ditabrak kapal, masjid yang tetap tegak tak bergeming diterjang tsunami, kapal pembangkit tenaga listrik yang bersandar di daratan, dan juga Museum Tsunami. Dari sekian “objek” Tsunami, musium merupakan tempat yang membuat mata saya sembab dan sesegukan tak kuat menahan sedih. Didesain dengan suasana yang membuat perasaan dan pikiran kita menyatu dengan suasana musium, ditambah lagi dengan jajaran foto para korban, curahan air terjun di dinding musium dan alunan suara orang mengaji, langkah kaki terasa berat. Seolah kita juga sedang dalam kepungan tsunami. Sedih luar biasa, terbayang bagaimana masyarakat menyelamatkan diri mereka.... 

Seharusnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Kota Titik Nol di Pulau Weh (perbaiki jika saya salah), tapi hati saya sudah remuk redam. Badan terasa berat dan letih. Hilang semangat. Lalu saya minta kembali pulang ke hotel saja. Sungguh, tsunami merupakan bencana terbesar abad 21. Semoga para korban yang meninggal diterima sebagai syahid dan yang masih hidup mampu lepas dr beban trauma. Amiin.

Berbagai kisah dan cerita terekam saat itu. Inti cerita semua pada kedahsyatan yang disebabkan oleh air laut yang melimpah menerjang kawasan yang dilaluinya. Malaysia juga tidak terkecuali. Semua terpaku, sebab tidak pernah mendengar tentang tsunami terjadi di sana, seperti yang diceritakan Mak Usu Jamilah Abdullah. Berbagai bantuan datang dari berbagai tempat dengan berbagai cara. Ada seorang teman yang mengumpulkan dana dengan permainan online. Begini ceritanya:

Dulu, ketika kejadian tsunami Aceh, aku dan beberapa teman gamers setuju menggelar pameran untuk menggalang dana bagi korban tsunami Aceh. Kami menggelar pameran di sebuah platform 3D games, namanya Second Life. Walaupun pameran ini di dunia games, tapi para hadirin dibalik avatar-avatar itu adalah manusia biasa, manusia normal. Itu yang membuat kami yakin donasi akan bergerak masuk. Dalam games Second Life ini pula, ada suatu sistem uang, dengan mata uang "L$" = Linden dolar. Istimewanya, L$ ini bisa ditukar menjadi real money, dalam mata uang apapun. Nah karena ini adalah platform games, maka pemainnya pun dari dunia internasional. US, Inggris, Afrika, Asia, semua ada. Kami pamerkan foto-foto tentang Aceh dan tsunami dalam bentuk 3D. Jadi, orang masuk ke area pameran tuh sudah seperti masuk ruangan biasa. Gak flat seperti FB. Sayang aku gak nemu fotonya 😐 . Kami juga bikin merchandise untuk avatar-avatar Second Life: kaos, kebaya, jarik, rok, semua berbentuk 3D dan kami jual untuk donasi. Hasilnya lumayan, hampir 10 juta rupiah. Ini adalah bentuk dari penggunaan games untuk hal yang positif.

Ternyata, banyak cara membantu sesuai bidang masing-masing yang dilakukan masyarakat dunia. Tsunami Aceh telah menyatukan semuanya dalam satu tujuan. Memang setiap musibah ada hikmah di sebaliknya. Semoga kita selalu diberi petunjuk untuk mengetahui hikmah tersebut.

#onedayonepost
#nonfiksi
#tantanganartikelviral2

Comments

Popular posts from this blog

SUNGAI CHINCHIN, KAMPUNG DI PINGGIR BANDAR

INFINITY

FENOMENA BEBEK SINJAY: Bangkalan vs Pandan Indah