SANG HUJAN
Langit mulai
gelap di kawasan rumahku. Suasana mulai sunyi dan senyap. Angin lembut membelai
daun-daun pepohonan yang tumbuh gagah di depan rumah. Sayup-sayup terdengar
guruh dan sekilas terlihat juga kilatan cahaya menghiasi langit yang mulai
hitam. Perpaduannya sungguh indah. Walau kadang-kadang terlihat mengerikan,
tapi aku suka memperhatikannya dari jendela rumahku.
Entah mengapa
aku begitu suka melihat tetesan air yang jatuh dari langit tersebut. Irama
tetesannya begitu syahdu kudengar. Begitu mendamaikan dan menenangkan.
Dengannya aku bisa berdialog apa saja. Kadang-kadang dia seperti menjawab
pertanyaan-pertanyaanku.
“Hujan, ke mana
saja kamu, sudah lama tidak datang menjengukku…” begitu tanyaku satu hari, saat
sudah hampir sebulan, kawasan desaku kering tanpa tetesan air dari langit, membasahi tanah-tanah yang mulai kerontang. Sawah, ladang nyaris menguning tak
menghasilkan.
Tiba-tiba
sebuah suara melintas di telingaku, “Ada, aku selalu ada di antara awan-awan
yang berhimpun di atas langit desamu. Tapi aku masih kurang tenaga untuk
menjatuhkan buliran-buliran air yang kusimpan sejak lama ini. Perlu waktu
beberapa saat lagi, agar aku mampu mengairi kembali parit-parit sekitar sawah
dan ladang, serta membasahi tanah-tanah sekitar desamu.”
Aku terpana
sambil mengangguk-angguk tanda mengerti. “Tolonglah turun cepat, jangan sampai
kami semua mengalami paceklik karena tanaman tidak dapat tumbuh dan
menghasilkan…!”
Dari balik
awan, kulihat hujan tersenyum mengiyakan.
Sampailah ke
hari ini, saat kulihat awan yang biasanya putih, sudah mulai menghitam dan
sepertinya sudah tidak sanggup lagi menyimpan lebih lama butiran air yang
diserapnya selama ini. Kilat pun sudah mulai menari-nari di semua sudut langit.
Petir pun tidak kalah meriahnya menyenandungkan suara terindahnya. Di akhir
pentas, geluduk kuat sekali-kali menyumbangkan suara garangnya, menjadikan
sebuah harmonisasi yang sungguh sedap ditonton dan disaksikan. Konser alam
sudah bermula. Dan, awan pun mulai menurunkan titik-titik air yang disimpannya.
Bumi mulai basah. Tanah-tanah yang kerontang mulai mengisap perlahan-lahan air
yang turun. Lega dan sungguh nyaman suasananya. Pohon-pohon pun mulai
menegakkan batang dan daunnya, tanda kesegaran sudah mulai memasuki pori-pori
tubuhnya.
Aku tersenyum
bahagia. Bau tanah di saat hujan pertama setelah sekian lama kemarau, selalu
menyenangkan untuk dihirup. Tetesan air yang jatuh dari atap rumah, beriring
teratur melahirkan suara yang luar biasa indahnya. Seluruh alam tersenyum
gembira. Menari-nari riang menyambut Sang Hujan yang telah lama dinanti. Terima
kasih karena engkau mendengar sapaku untuk datang secepatnya. Kini, kami sudah
bisa mulai menanami sawah dan ladang yang lama kami tinggal. Kini, kami sudah
bisa mengairinya dengan simpanan airmu di bendungan-bendungan.
Hujan selalu
mendatangkan bahagia buatku. Walaupun kadang-kadang menyebabkan banjir. Tapi,
aku tetap suka memandang genangannya di bebatuan halaman rumah. Jangan kau
datang dalam keadaan marah. Datanglah selalu dengan penuh kedamaian.
=============================
Inspirasi
Cerpen dari Menghardik Gerimis oleh Sapardi Djoko Damono, salah satu cerpen dalam Koran Tempo; Annual Short Story
Collection, 2015, yang dibaca penulis untuk tantangan ke tiga RCO2.
#rco2cerpen
#30harimenulis
#hari5
#onedayonepost
#bebas
Comments
Post a Comment