TAAT DAN PATUH



Taat dan patuh adalah dua kata yang mempunyai makna bersamaan. Artinya sama-sama menurut, menurut perintah. Kenapa topik ini terangkat kali ini? Karena pengamatan pribadi beberapa waktu kebelakangan ini. Ternyata ada banyak diantara kita sulit untuk menerima dan patuh mengikuti peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama.

Taat menurut saya sifatnya lebih tinggi daripada patuh. Seseorang yang patuh, bisa saja tidak taat. Taat, konsekuensinya lebih ke Tuhan. Pertanggungjawabannya langsung ke Dia, Sang Pemilik Diri. Seseorang bisa saja patuh, tapi belum tentu dia akan taat dalam kepatuhannya tersebut.  

Seorang teman mengemukakan pendapatnya, ketika kami bertemu beberapa waktu lalu. Pendapatnya adalah sese orang yang tidak bisa dipimpin, berarti tidak akan bisa memimpin. Menarik pendapat ini dan ada benarnya. Bagaimana dia bisa memimpin orang lain, jika dia sendiri tidak bisa memimpin dirinya mengikuti aturan yang telah ditetapkan orang lain. Bukankah sesuatu yang terjadi di alam adalah hukum sebab akibat dan tarik menarik? Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai? Apa penyebab seseorang itu tidak mau dipimpin dan selalu ingin membantah apa saja yang telah ditetapkan sebuah organisasi?

Kehidupan di alam ini adalah seperti dua sisi mata uang dan selalu ada pasangannya. Kanan dengan kiri. Senang dengan susah. Miskin dengan kaya. Dan, berbagai pasangan lain yang bisa kita urutkan satu per satu. Ada siang ada malam. Ada kawan ada lawan. Begitulah terus menerus hukum alam yang terjadi sepanjang bumi ini masih ada.

Menjadi patuh dan taat bagi siapa saja, perlu sikap penurunan ego ke tahap yang paling rendah. Ego inilah yang sering membuat kita berada pada suasana dan kondisi protes dan membantah. Pada akhirnya akan berujung berkurangnya atau bahkan menghilangkan rasa patuh dan taat pada diri seseorang. Bagaimana mengatasinya?

Mengatasi ego dan menjadi rendah hati bukan perkara mudah. Ramai diantara kita justru semakin tinggi tingkat keberhasilannya, maka semakin tanpa disadarinya berada pada tahap ego yang semakin tinggi. Ego yang membawa kepada kesombongan. Perlukah semua itu? Tentu tidak. Seharusnya kita bisa bersikap seperti padi, yang semakin masak dan berisi semakin merunduk ke bumi. Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin dilakukan.

Sikap ego sering merugikan diri sendiri. Merasa tersinggung dan tidak berbesar hati menerima kritik dan nasehat, sering berujung pada tindakan drastik yang di luar perkiraan. Kedewasaan kita bersikap akan diukur dari cara kita menanggapi sebuah teguran. Dan, berbesar hatilah saat seseorang menegur untuk kebaikan kita ke depan. Terimalah dengan hati yang lapang. Tidak perlu kita menyindir-nyindir di setiap kesempatan yang ada. Semua itu akan semakin menunjukkan siapa kita sebenarnya. Berdiam diri dan merenungi apa yang telah terjadi, itu adalah langkah yang lebih baik dan dewasa. Kalau memang ingin dihormati karena bilangan usia yang sudah banyak, maka bersikaplah seperti seharusnya umur yang banyak tersebut. Jangan sedikit-sedikit tersinggung, merajuk dan mengulang-ulangnya kapan saja punya kesempatan. Itu sangat membuang waktu dan energi. Apalagi bila yang diajak “berperang”, hanya diam, tidak menanggapi.  

Mengapa kita susah untuk instropeksi diri sendiri? Mengapa kita tidak fokus ke diri sendiri dulu? Alangkah indah dan damainya, bila kita bisa sama-sama berganding bahu, meski berbeda pendapat. Dunia yang majemuk menuntut kita lebih bijak berprilaku, kalau kita tidak mau tertinggal jauh di belakang. Hanya dengan bersikap patuh dan taat pada peraturan sebuah komunitas dimana kita bergabung adalah langkah awal menuju kesuksesan kita menjadi seorang pemimpin. Karena kita telah mampu memimpin diri sendiri mematuhi sebuah peraturan. Kita akan dinilai dari cara kita bersikap dan berprilaku. Menjadi dewasalah dari hari ke hari. Agar hidup kita tidak sia-sia.

#onedayonepost
#nonfiksi
#bebas












Comments

Popular posts from this blog

SUNGAI CHINCHIN, KAMPUNG DI PINGGIR BANDAR

REWANG

BUMBU MI ACEH ALUBU (Review Produk)