MERENGKUH BAHAGIA, MENGGENGGAM MATAHARI
Suasana pagi di Pantai Stulang Laut, Johor |
Matahari mulai bergerak naik, saat aku
melangkahkan kaki keluar dari rumah gelap sunyi itu. Tangan dan kakiku berdarah,
sangat pedih. Darah mengucur dari sela-sela jari. Kukembali teringat kejadian
yang menimpa semalam.
"Celaka kamu",
teriak suamiku. Air mata mengalir deras di pipi. Terisak-isak mendengarkan
makian yang keluar dari mulut orang yang telah berkongsi hidup lebih dari dua
puluh lima tahun itu. Ungkapan cinta dan sayang yang sering diucapkannya
di awal-awal hidup berumah tangga, hilang lenyap ntah kemana.
Tidak hanya itu, aku ditampar, disepak dan dipukul tidak ada habisnya. Seperti
kerasukan setan keadaan suamiku, malam tadi. Aku hanya bertanya hal umum yang
ditanya seorang istri, apabila suami tidak pulang ke rumah berhari-hari, tanpa
kabar berita. Tidak kusangka, itu mebuatnya marah luar biasa. Aku sudah
diperlakukan tidak manusiawi lagi. “Ada apa dengannya?”, berkali-kali
hatiku mempertanyakannya, tanpa mampu kulontarkan. Keadaan itu sudah sering
terjadi sebelumnya, tapi tidak pernah separah malam tadi.
Rumah tanggaku cukup manis dan bahagia di tahun-tahun awal
pernikahan. Dua tahun setelah menikah, bayi perempuan mungil menambah kebahagiaan.
Aku disibukkan dengan berbagai urusan merawat dan membesarkannya. Semua
kulakukan sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Sudah tekadku untuk berhenti
bekerja, apabila anakku lahir dan bersikeras untuk mengasuhnya sendiri. Bahkan
sampai anak ketiga lahir pun aku menjaganya sendiri. Suami sangat pengertian
dan ringan tangan membantu urusan di rumah, yang kadang-kadang seperti tiada
hentinya. Sampai pada satu masa,
kejadian di luar kebiasaan mulai berlaku satu persatu.
“Abang pulang jam berapa hari ini?”, tanyaku pada suami suatu hari. Aku ingat saat itu, pagi sibuk
seperti biasanya dengan urusan menyiapkan anak-anak ke sekolah, sambil lalu aku
menanyakannya ke suami. Dijawab acuh tak acuh olehnya, “Belum tahu. Mungkin
sedikit terlambat dari biasanya.”
“Ooo..ok..!”, jawabku
ringkas. Aku tidak mencurigai apa-apa dan percaya sepercaya-percayanya. Sampai
kejadian pulang telat ke rumah terjadi berkali-kali. Ketentraman rumah mulai
terusik. Jawaban yang tidak memuaskanku selalu dilontarkannya setiap aku
bertanya, “Kenapa pulang telat?” Jawaban
yang paling sering kudapat adalah, “Ada kerja!” Saat ditanya lagi kerja
apa? Maka bentakan dan makian akan keluar seperti muntahan lahar gunung berapi.
Panas, membuat telinga merah, dada sesak. Aku hanya mampu membatin dalam hati
dan senantiasa istiqfar, mengingatnya.
Kebohongan demi kebohongan terus disusunnya. Suamiku semakin sering
tidak pulang. Alasan yang diberi, kerja sudah lewat malam, kadang terpaksa
tidur di rumah teman. Walau hati tak percaya, tapi aku membiarkannya saja. Aku
hanya meminta pada-Nya untuk menjaga dia, menjaga langkahnya, menjaga imannya.
Aku juga meminta pada-Nya untuk menunjukkan apa yang terjadi sebenarnya pada
suamiku. Aku tidak mau mendengar dan
mendapat cacian yang kadang-kadang bahasanya tidak ada di kamus. Mulutnya sudah
tidak ada asuransinya.
Puncak rentetan kejadian yang sudah bertahun-tahun itu adalah
semalam. Aku kembali melangkahkan kaki perlahan-lahan, menahan pedih yang
semakin terasa. Kuarahkan kakiku menuju kantor polisi, yang berada tidak jauh
dari rumah. Ya, aku sudah tidak mau memendamnya lagi. Aku sudah tidak kuat. Aku
sudah tidak sanggup menanggung sendiri semuanya. Anak-anak sudah besar, sudah
punya kehidupan masing-masing. Sudah tidak ada lagi yang aku perlu lindungi.
Aku ingin mencari bahagiaku sendiri dan merengkuhnya dalam dekapanku.
Pikiranku berkecamuk, perlahan langkahku pun sampai di depan kantor
polisi. Seorang polisi perempuan, sigap menyambutku yang sudah setengah
pingsan. Mendudukkan aku di sebuah kursi dan memberikanku segelas air putih sambil
memandang penuh hiba. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia
menunggu dengan sabar sampai aku siap menceritakan dan memberi laporan. Aku
kuatkan hati untuk melaporkan apa yang telah aku alami. Semua kulaporkan.
Akhirnya aku punya kekuatan untuk melaporkan perbuatan suamiku.
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?”,
tanya polisi tersebut sambil mengetik semuanya di layar komputer.
“Saya telah didera fisik dan mental oleh suami”, aku menjawab lirih. Aku mulai menceritakan kejadian yang
menimpaku semalam. Setengah jam kemudian, laporan selesai dan aku disuruh
membaca ulang semuanya. Aku menandatanganinya selepas itu, tanda setuju dengan
isinya. Kemudian aku diantarkan ke rumah sakit untuk mengobati luka yang
kualami.
Perlu beberapa hari juga memulihkan kondisi fisikku. Sedangkan
kondisi mental masih sangat rapuh sampai saat ini. Tapi, aku perlu meneruskan hidup
dan tidak bisa berlama-lama memikirkan apa yang telah terjadi padaku. Aku
harus bangkit meraih matahari hidupku. Harus kembali dan mengembalikan
rasa cinta yang telah lama hilang.
==========
Note: Tulisan ini hanya rekaan semata. Ditulis untuk memenuhi tantangan minggu ini, di komuniti penulisan ODOP. Semua peserta wajib membuat sebuah cerpen, minimal 400 kata. Ini cerpen pertama yang saya buat. Tidak pasti juga bisa dikategorikan cerpen apa tidak? Semoga lulus seleksi tantangan minggu ini. Kritik dan saran sangat dinanti, untuk perbaikan ke depan.
Comments
Post a Comment