KUASA MEMABUKKAN (1)
Bahagian 1.
1996
Hiruk pikuk mengawali pagi di sebuah sekolah kampung yang tentram.
Sekolah yang nyaris usang dimakan usia. Sekolah yang telah banyak berjasa
mendidik anak-anak kampung itu menggapai cita-cita mereka.
Pagi itu, sekolah diriuhkan oleh kedatangan sekelompok polisi dari
unit khas, kantor polisi berdekatan sekolah. Mereka terlihat gagah, bergaya dan
keren. Dengan sigap mereka masuk ke sebuah kelas, dengan mengacungkan pistol
kearah pelajar-pelajar yang sedang tekun mengerjakan tugasnya. Semua terkejut
dan bingung, segera meletakkan pensil dan fokus ke depan dengan wajah
terpinga-pinga.
“Ada apa ini?” begitu pikir
Dira, salah seorang pelajar yang ada dalam kelas tersebut. Dia bersama teman
sebangkunya, Sita, saling pandang penuh tanya sambil menggerakkan dagunya ke
atas. Menunjukkan dia perlu jawaban dan penjelasan untuk situasi yang sedang
terjadi saat itu. Sita hanya menggeleng sambil mengangkat kedua tangannya,
untuk menjelaskan bahwa dia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Ternyata adegan yang dipertunjukkan di depan, hanyalah sandiwara
untuk mempertontonkan bagaimana polisi membekuk orang jahat. Semua pelajar
bertepuk tangan menunjukkan antusias mereka. Hanya dua orang diantara mereka
yang tidak ikut serta, Dira dan Sita. Menurut mereka pertunjukan itu agak
berlebihan dan tidak yakin polisi bersikap demikian di lapangan. Mereka tidak
pernah melihatnya di TV dan apa polisi punya waktu banyak untuk datang ke
sekolah-sekolah bagi memperlihatkan demonstrasi begitu. Menurut Dira, polisi
sebenarnya sangat sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk membuat program
seperti yang ditampilkan tadi. Sita pun membenarkannya.
Obrolan mereka terdengar oleh seorang pelajar lain, Riri, yang
duduk di depan mereka. Kebetulan ayah Riri adalah pemimpin rombongan polisi
yang datang ke sekolah mereka itu. Riri menolak pendapat kedua temannya itu dan
beranggapan mereka hanya iri kepadanya.
Dira dan Sita menyangkal, tetapi Riri tidak mempercayainya. Dia
malah menantang Dira dan Sita membawa ayah mereka juga ke sekolah. “Ah..iya,
lupa. Kalian tidak punya ayah…, ujarnya penuh kemenangan.
Sita cemberut dan langsung menelungkupkan wajahnya ke meja.
Sementara Dira langsung menarik rambut Riri dengan penuh amarah. Pergaduhan
terjadi serta merta. Riri menjerit memanggil ayahnya.
Ayah Riri pun menegur, sambil menodongkan jarinya ke arah Dira
seolah-olah sedang memegang pistol, “Jangan berkelahi!” Dira terkejut
dan spontan ikut menelungkupkan wajahnya ke meja, seperti yang dilakukan Sita,
masih dengan keadaan marah dan jengkel.
Dira adalah seorang gadis yang berangkat remaja. Berusia dua belas
tahun, berkulit putih dengan rambut panjang yang selalu ditocang dua. Anak yang
periang, tegas dan tidak mudah dipermainkan. Dira adalah seorang pelajar yang
bijak dan pandai. Dia tinggal bersama ibunya yang membuka warung menjual bakmi
di kampung mereka. Ayahnya telah lama tiada.
Sita pula seorang gadis berwajah manis dan cantik. Sudah sedari
kecil ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia hidup berdua dengan neneknya.
Perwatakannya lembut dan tidak setegas Dira. Mereka berdua berteman sejak kecil,
karena rumah mereka berdekatan.
***
Sepulang sekolah, Sita ikut Dira ke warung bakmi ibunya. Mereka
belajar bersama-sama. Sambil belajar, Sita kembali mengulang cerita yang
terjadi tadi di sekolah. Dia, ingin membalas dendam dengan Riri, karena telah
mempermalukan mereka. Dia mengusulkan kepada Dira agar membujuk ibunya untuk
mencari seorang ayah lagi untuknya. “Seorang polisi juga seperti ayah Riri,”
begitu ajuknya kepada Dira.
Tapi, Dira menjawab, “Aku tidak yakin, ibuku akan menunaikan
harapan itu…” Dia menambahkan, “Buat anak yang tidak mempunyai ayah
seperti kita, hanya ada dua pilihan. Menjadi anak super pintar di sekolah atau
menjadi ratu yang super cantik.”
Sita setuju dengan pendapat Dira itu. Dan, dia langsung bertekad
untuk menjadi ratu tercantik dengan mengikuti kontes pemilihan putri yang
banyak diadakan saat itu. Dira setuju dan mendukung tekad Sita. Karena
menurutnya Sita punya potensi untuk itu.
Ibu Dira, Sofia, yang dari tadi mendengar obrolan tersebut dari
dapur, berjalan ke arah mereka dan menjentik halus telinga Dira. Beliau
menasehati untuk mensyukuri apa yang mereka miliki. Bukan mengeluh dan protes
terhadap apa yang tidak dimiliki.
Tiba-tiba Ibu Dira terlihat terkejut, saat televisi menyiarkan
sebuah berita dalam program “Breaking News”.
Seorang kepala polisi bernama Dani, dinyatakan bebas dan tidak
bersalah atas tuduhan melakukan penyiksaan seksual. Bukti yang terkumpul tidak
mencukupi untuk bisa menuduh Dani telah memenjarakan dan menyiksa seorang buruh
wanita, yang telah melakukan mogok illegal sepuluh tahun lalu.
Saat reporter menanyakan bagaimana perasaan Dani, dia hanya
mengatakan: “Anjing menggonggong, kafilah berlalu…”
Sementara itu, di kantor kejaksaan, dalam konferensi persnya, Jaksa
Tuti, yang menangani kasus tersebut, menyatakan penyesalannya atas siding yang
hanya mempercayai alasan penyerang, tapi mengabaikan pernyataan korban yang tak
bersalah. Dia menegaskan bahwa tidak akan menyerah dan akan menunggu korban
lain berbicara untuk membela nasib mereka.
Diberitakan juga bahwa korban yang kalah dalam persidangan
tersebut, akhirnya bunuh diri dengan terjun dari bangunan. Dia meninggalkan
surat yang isinya keluhan tentang jalannya persidangan. Korban adalah pemimpin
demo buruh pabrik Delta, tahun 1986. Korban ditangkap polisi saat itu.
Sofia, sangat terguncang mendengar berita tersebut. Korban yang
terjun dari bangunan itu adalah salah seorang temannya, saat masih bekerja di
pabrik Delta. Dia kembali teringat cerita lama yang nyaris dilupakannya itu.
Bersambung…
Note:
Tulisan ini adalah bagian pertama dari cerbung "KUASA MEMABUKKAN". Merupakan tantangan ODOP terakhir. Ide cerita diambil dari drama Korea "Witch at Court", yang sedang ditayangkan di KBS, saat ini. Tokoh dan alur cerita sedikit diubah, sesuai dengan imajinasi penulis. Semoga bisa jadi ajang belajar, untuk terus mendalami penulisan fiksi.
Wow, next chapter
ReplyDelete