IDAR (Part 1)
Bagian 1.
Pendahuluan
Suara riuh
rendah memenuhi halaman luas rumahnya. Dia tersenyum bahagia menyaksikan
cucu-cucunya berlari ke sana ke mari. Terlihat seorang di antaranya mengejar
kupu-kupu, yang memang banyak beterbangan. Cuaca cukup cerah, tetapi angin
semilir bertiup lembut, hingga membuat suasana cukup nyaman. Di penghujung
musim panas ini, cuaca sangat bersahabat dengan mereka semua. Suasana sejuk,
yang kadang-kadang diiringi hujan rinai, sudah mulai mengunjungi.
“Nenek, nenek,
lihat ini …,” teriak cucunya yang lain,
tiba-tiba, sambil berlari ke arahnya dan menunjukkan sekuntum bunga raya yang
dipegangnya. Berwarna oranye dengan
semburat merah di bagian tengahnya.
“Cantik sekali,
sayang …!” Dia menanggapi cucunya. Sang cucu
pun tersenyum gembira dan kembali berlari ke halaman, berkumpul dengan
sepupu-sepupunya yang lain.
Anak-anaknya sedang
mempersiapkan beberapa peralatan. Mereka berencana merayakan hari ulang tahun
ibunda tersayang yang ke 70, petang ini. Meja dan kursi sudah disusun rapi. Alat
pemanggang pun sudah berada di tempat yang sesuai. Sebuah kenduri kesyukuran
dengan barbeque, menjadi temanya. Ibu mereka sangat suka makanan yang
dimasak dengan cara dipanggang atau dibakar. Selain untuk menjaga kesehatan,
tetapi juga mudah dan ringkas memasaknya. Begitu alasan yang diberikan ibu
mereka, saat ditanya kenapa.
Dia adalah Idar, seorang perempuan sederhana dengan semangat yang tinggi dan menggebu
sejak mudanya. Bertubuh tidak terlalu gemuk, dengan ketinggian rata-rata
seorang perempuan Indonesia. Walaupun sudah berumur lebih separuh abad,
kesan-kesan keelokan dan kecantikan wajahnya di masa muda, masih jelas terlihat.
Penampilannya rapi, dengan balutan kerudung yang selalu terlilit indah menutupi
kepalanya. Pilihan-pilihan baju yang dikenakannya berpotongan sederhana, tapi
tetap terlihat matching. Ya, dia memang seorang perempuan yang tidak
main-main dengan penampilannya. Senyum manis selalu menghiasi wajah, yang
berkulit putih kekuningan, dengan mata bulat hitam mempesona, yang seolah-olah
mengajak orang yang disapa, tunduk pada perintahnya. Tidak ada orang yang akan
menyangka, bahwa perjuangan hidupnya sebelum ini begitu berat dan penuh cobaan.
***
Kampung
Penuh Kenangan
“Dar, Idar,
tolong bawakan rantang makanan ini ke sawah dan berikan pada Ayah, ya?” sebuah teriakan terdengar dari
arah dapur.
Idar yang sedang
bermain dengan teman-temannya menyahut, “Iya,
Bu ….” Sambil berlari kecil menjumpai Ibunya di dapur, mengambil rantang
yang terletak di atas meja dan kembali berlari sambil menyapa teman-temannya
yang masih asik bermain.
“Idar antar ini
dulu ya … “ sambil menunjukkan rantang makanan
yang dipegangnya.
Sawah keluarga
mereka terletak tidak jauh dari rumah. Setiap ayahnya ke sana, maka Idar atau
kakaknya, Izah, yang disuruh ibunya mengantarkan makanan, saat waktu makan
siang tiba. Ayahnya adalah seorang pegawai di Kantor Agama Daerah. Bila tidak berdinas,
maka beliau akan menghabiskan waktunya mengurus sawah. Sawah itu adalah
peninggalan orang tuanya.
Idar kecil,
hidup dan membesar dalam sebuah keluarga yang kuat kehidupan beragamanya. Rumah
mereka selalu penuh dengan anak-anak belajar mengaji setiap hari. Neneknya yang
mengajar anak-anak kampung ini mengaji dan kitab kuning. Ibunya, Zuri, seorang
ibu rumah tangga biasa. Kesehariannya adalah mengurus rumah dan menjaga
keperluan keluarga besarnya. Dan, sekali-kali ikut menolong mengajar mengaji
atau ke sawah membantu suaminya.
Idar adalah
anak kedua dari enam bersaudara. Dia memiliki seorang kakak dan adik perempuan,
serta tiga adik laki-laki. Mereka tinggal di sebuah kampung yang lumayan jauh
dari kota. Tidak ada kendaraan umum yang bisa mereka naiki jika ingin ke kota. Harus
berjalan kaki berkilo-kilometer untuk sampai ke sana. Akhirnya mereka lebih
banyak menghabiskan waktu di kampungnya.
Khasnya sebuah
kampung, Kampung Belimbing, adalah sebuah kampung yang asri. Alamnya damai. Pohon-pohon
besar dan rindang memenuhi hampir seluruh pelosoknya. Rimbunan bambu dengan
lingkaran batang yang besar, cukup menunjukkan usianya, bertebaran tumbuh di
kampung tersebut. Sebatang sungai membelah kampung menjadi dua bagian. Satu bagian
pemukiman dan bagian lainnya adalah bentangan sawah dan ladang penduduk
kampung. Hanya ada jalan desa dengan pasir halus dan kering, yang bila hujan
akan becek dan sulit dilalui kendaraan. Itulah kampung tempat Sidar dilahirkan
dan membesar, serta menjalani masa kanak-kanak dan remaja.
“Ayah,
istirahat dulu …,” Idar memanggil ayahnya, yang masih
meratakan tanah dan membuang rumput di lahan yang akan ditanami padi nantinya.
“Ibu masak asam
pedas tongkol kesukaan Ayah, ni …, Idar
melanjutkan ajakannya, sambil membuka dan melihat menu apa saja yang disiapkan
Ibu tadi.
“Iya, sebentar,
Ayah habiskan kerja ini dulu…,” Sedikit
menjerit Pak Baha, ayah Sidar, bersuara.
Tak berapa
lama, Pak Baha pun menghentikan kerjanya dan bergerak naik melintasi pematang
berumput menuju dangau, tempat melepaskan lelah bila dia bekerja di sawah ini. Dangau,
sebuah gubuk kecil tanpa dinding, hanya beratap dengan tiang-tiang yang sengaja
dibina agak tinggi. Biasanya dibuat dari bambu atau batang pohon yang ada di
sekitar sawah. Dangau juga dilengkapi bagian yang cukup luas untuk duduk dan
beristirahat sejenak.
Sekali-kali Idar juga turun ke sawah menolong ayahnya. Biasanya saat proses penanaman
bibit padi dimulai. Masa kecilnya diisi dengan bermain, menolong ayah ibunya
dengan kerja-kerja yang ringan dan sekolah pastinya. Idar kecil punya semangat
yang tinggi untuk satu hal itu. Dia bertekad untuk bersekolah
setinggi-tingginya. Akan tetapi, ….
Bersambung ….
****
Note:
Ini adalah cobaan kali kedua bagi saya, menuliskan sebuah cerita bersambung. Yang pertama adalah saat masih mengikuti challenge ODOP 4. Ketakutan masih tetap pada faktor yang sama, yaitu ketidakmampuan membuat dialog-dialog yang lancar. Alhamdulillah, saat menuliskan Cerbung Idar ini, sedikit lebih lancar menuliskan dialog-dialognya. Proses belajar yang terus menerus dari berbagai kelas yang saya ikuti, berbuah manis akhirnya. Saya yakin, semakin hari saya akan semakin terbiasa menulis dengan genre fiksi.
Comments
Post a Comment