IDAR (Part 7)
Bagian 7
Memiliki dan Kehilangan
Tidak memakan
waktu lama setelah masa perkenalan, Idar dan Adli melangsungkan pernikahan
mereka. Setelah menikah, Idar tinggal
bersama suaminya di rumah yang disiapkan untuk staf pengajar di universitas
tersebut. Sebuah rumah semi beton dengan sebagian dinding atasnya dari susunan
papan. Letaknya di sebelah bangunan sekolah Idar. Ada lima rumah satu deretan. Suasana
kampus saat itu masih sunyi, karena memang belum banyak pemukiman yang disediakan
di kawasan tersebut. Ada sederet rumah lagi di depan deretan rumah mereka. Berbedanya
deretan rumah tersebut adalah rumah beton keseluruhannya. Jalan yang
menghubungkan penduduk ke luar masuk hanyalah jalanan berbatu kecil. Belum ada
jalan beraspal saat itu. Kiri kanan jalan masih banyak pohon-pohon besar yang
menaungi jalan, sehingga tidak terlalu panas jika berjalan melaluinya. Ada lubang
besar seperti kolam, tidak terlalu dalam, yang akan penuh terisi air saat hujan
dan kering kerontang saat musim kemarau. Kolam tersebut menjadi pemisah antara
kawasan perumahan dan kampus.
Tetangga kiri
kanan rumahnya begitu ramah menyambut kedatangan Idar saat pertama kali pindah
ke kawasan itu. Suasana itu sangat menolong Idar beradaptasi dengan cepat.
“Selamat datang
….” Begitu sapaan beberapa ibu-ibu muda yang umurnya lebih kurang
sebaya Idar.
“Semoga kita
bisa bersilaturahmi dengan baik nantinya,”
ujar yang lain.
“Kenalkan, nama
saya Tuti. Saya tinggal di rumah paling ujung itu,” sambil menunjukkan posisi tepat rumah yang dia diami.
“Oh, terima
kasih untuk sambutannya. Iya, semoga kita semua bisa bersilaturahmi dengan baik
ke depannya.” Idar membalas sapaan wajah-wajah
baru yang akan menjadi temannya dalam perjalanan kehidupan barunya.
***
Ibu-ibu di
kampus tersebut, yang berasal dari beberapa kawasan perumahan di sekitarnya,
mempunyai sebuah wadah untuk berkumpul setiap bulannya. Kegiatan mereka cukup
aktif dengan berbagai program yang dikerjakan secara gotong royong
bersama-sama. Idar tidak ketinggalan ikut serta aktif di dalamnya. Ditambah lagi
kesibukannya saat itu hanyalah mengurus keperluan suaminya dan kuliah saja. Kehidupan
berumah tangganya cukup bahagia. Adli adalah seorang suami yang sangat
bertanggung jawab, walaupun orangnya sangat tegas dan cenderung serius.
Kebahagian
rumah tangga mereka bertambah lagi saat anak pertama mereka lahir dua tahun
setelah pernikahan. Seorang bayi perempuan yang sehat, telah menambah keceriaan
keluarga kecil itu. Saat kelahiran anak pertamanya inilah, Idar memutuskan
untuk berhenti sekolah. Alasannya saat itu adalah agar dia lebih fokus mengurus
keluarganya. Karena selama dua tahun perkawinan mereka, dia merasa terlalu
berat untuk membagi waktu antara keluarga dan kuliahnya. Ditambah lagi saat
kelahiran anak pertamanya itu. Akhirnya dia harus mengorbankan salah satunya.
Idar terpaksa memilih meninggalkan kuliahnya. Karena dia lebih memilih menjaga
keluarganya daripada pilihan yang lain. Pilihan itu cukup tepat untuk saat itu,
karena selang dua tahun kemudian, anak kedua mereka pun lahir. Seorang bayi
perempuan lagi. Hari-harinya makin padat dan sibuk mengurus keluarga yang
semakin besar. Idar terpaksa melupakan sejenak impiannya untuk bersekolah
setinggi-tingginya. Dia pasrah dan reda dengan perjalanan hidupnya saat itu.
Dia mulai berdamai dengan kondisinya itu dan yakin itulah yang terbaik yang
Allah beri dan siapkan untuknya.
***
Kedua anaknya
tumbuh dan berkembang dengan baik. Kehidupan keluarga mereka pun semakin baik
perekonomiannya. Adli mendapat promosi bagus dalam pekerjaannya. Saat Idar
mengandungkan anak ketiga, mereka sekeluarga diberikan rumah baru yang lebih
baik kondisinya oleh universitas tempat Adli mengajar. Rumah tersebut adalah
rumah batu keseluruhannya. Terletak di kawasan pemukiman baru, yang masih
berada dekat dengan area kampus. Hanya ada 2 buah rumah saat mereka berpindah
ke sana. Rumah yang cukup luas dan cantik. Selebihnya adalah sawah dan kebun penduduk
sekitar.
***
“Kakak, yuk
main di halaman …,” Reni memanggil kakaknya Rena untuk
bermain bersama di luar rumah.
Mereka adalah
anak-anak Idar dan Adli. Anak pertama dan kedua. Anak ketiga lahir setahun
setelah mereka pindah ke rumah baru. Seorang anak perempuan lagi yang makin
meramaikan keluarga. Tanpa terasa sudah tiga tahun mereka tinggal di kawasan
baru tersebut. Rumah-rumah baru semakin banyak dibangun di sekitarnya. Semakin ramai
lagi tetangga baru yang menjadi kenalan mereka sekeluarga.
***
Pagi itu, saat
sedang menemani anak-anaknya bermain di luar, Idar dikejutkan dengan suara
keras seperti ada sesuatu yang terjatuh. Dia berlari masuk ke dalam rumah
mencari tahu suara apa itu. Terdengar olehnya suara mengaduh dari kamar kerja
suaminya, Adli. Spontan dia berlari ke sana. Dan, dia melihat suaminya
terbaring sambil memegang dadanya.
“Bang, Abang
kenapa?”
Idar mengangkat
kepala suaminya dan memangkunya perlahan. Sambil itu dia menjerit meminta
pertolongan. Anak-anaknya pun sudah berkumpul sama di dalam ruang kerja ayah
mereka. Setengah menjerit Idar berkata kepada anaknya,
“Kakak, Kakak
tolong panggilkan Om Danu …, minta tolong beliau datang ke rumah. Cepat, Nak,
cepat.”
Rena pun dengan
sigap berlari keluar dan menuju rumah tetangga mereka.
“Om, Om, Om
Danu, tolong, tolong, Ayah sakit …”
Danu, tetangga
yang dimaksud langsung berjalan tergopoh-gopoh ke rumah tetangga dekatnya itu,
diikuti Rena dari belakang.
Danu terus
menghampiri Idar yang sedang mencoba menolong suaminya. Sebelum keluar tadi dia
sudah meminta istrinya menelepon dokter. Tidak berapa lama, dokter pun sampai
dan memeriksa Adli. Akan tetapi, Adli sudah tidak dapat ditolong. Dia terkena
serangan jantung dan meninggalkan Idar dengan anak-anaknya sendiri.
Bersambung ….
Comments
Post a Comment