IDAR (Part 3)

Jalan kampung kini yang masih tetap ada lembu berkeliaran


Bagian 3.
Masa Penuh Saing

“Deriii …, kamu kemanakan buku kakak?” jeritan Idar terdengar dari atas.

Dia sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Tiba-tiba tadi, Deri merebut bukunya dan melarikannya ke bawah. Deri memang sering sekali mencari masalah dengan Idar. Ada saja yang dilakukannya untuk membuat Idar marah. Deri selalu merasa semua barang-barang yang dimiliki saudaranya yang lain adalah miliknya juga. Dia merasa punya hak yang sama untuk menggunakannya. Walhal kadang-kadang, dia tidak memerlukannya.

Persaingan Idar dengan adik lelakinya, tidak hanya masalah rebutan barang, tetapi sering terjadi juga saat merebut perhatian dari ibu mereka. Idar akan selalu kalah, karena ibunya memang sangat menyayangi anak lelaki pertamanya itu. Apa saja yang diminta dan diinginkan Deri akan dipenuhi ibunya. Kondisi ini yang lebih membuat Idar keki dan tidak puas hati dengan adiknya itu.

***

“Idar, ayo cepat, nanti terlambat sampai sekolah kalau kita ngak keluar dari sekarang.” 

Izah memanggil adiknya, Idar, yang masih menyusun beberapa buku yang akan dibawa, ke dalam tasnya.

“Iya, Kak, sebentar lagi Idar keluar ….”

“Deri, ayoo, cepat …,” Idar memanggil adik lelakinya untuk mempercepat gerakannya memakai sepatu. Walaupun mereka sering bertengkar, tetapi Idar tetap memperhatikan adiknya itu.

Mereka bertiga pun mulai melangkah dengan cepat menuju sekolah yang jaraknya tidaklah dekat. Perlu berjalan kaki lebih kurang setengah jam untuk sampai ke sekolah. Walaupun lumayan jauh, tetapi tidak mematahkan semangat Idar untuk ke sekolah setiap hari. Seolah-olah ada daya tarik, layaknya magnet kuat yang menarik Idar untuk terus menyelesaikan sekolahnya. Dia seperti mendapat energi yang luar biasa untuk menjalani semuanya hari ke hari.

Jalan menuju sekolah adalah jalan kampung berbatu dengan pasir halus. Lebarnya hanya cukup untuk dilalui sebuah mobil. Saat itu, belum banyak kendaraan bermotor yang melewatinya. Hanya ada sepeda dan sesekali sepeda motor yang bisa dihitung dengan jari. Di sebelah kiri terbentang sawah penduduk, yang dipisahkan oleh pagar bambu. Sebelah kanan pula, beberapa rumah penduduk dengan rumah-rumah panggung kayu, nampak megah berdiri, yang jarak di antaranya kadang-kadang jauh-jauh. Sebagian laluan kanan itu ada juga hutan dengan pohon-pohon besar yang rindang, beralaskan rumput. Bau rumput di awal pagi sangat menyegarkan. Asap putih halus terlihat keluar dari rumah-rumah. Pertanda dapur yang mulai mengepul untuk menyiapkan sarapan. Jalanan sering dipenuhi juga oleh sapi dan kerbau milik penduduk yang bergerak menuju padang rumput tidak jauh dari sekolah. Semua sudah memulai aktivitas pagi.

Idar, bersama kakaknya Izah, dan adiknya, Deri, berjalan beriringan menuju sekolah. Mereka bertiga bersekolah di sekolah yang sama. Usia mereka hanya terpaut tiga tahun. Adik-adik yang lain bersekolah di tempat berbeda dan biasanya diantar oleh Pak Baha. Sebelum berangkat tadi, ibu sudah menyiapkan bekal sarapan, untuk dimakan nanti sesampai di sekolah. Mereka terus melangkahkan kaki dengan teratur. Kadang-kadang harus memperlahankannya, bahkan menghentikan sejenak gerak langkah mereka, untuk memberikan laluan bagi gerombolan sapi dan kerbau.

Pagi itu, ada pelajaran yang sangat disukainya. Sejarah. Idar sangat meminati mempelajari sejarah. Meskipun harus menghafal tahun-tahun sebuah peristiwa serta tokoh-tokoh yang menjadi pelakunya, dia cukup menikmatinya.  Ditambah lagi guru yang mengajarkannya pandai bercerita dan menerangkan sejarah begitu menarik, sehingga siswa tidak sempat merasa bosan. Bu Rahma selalu punya cara menerangkan dengan cara yang ringkas, tetapi cukup padat. Profil Bu Rahma begitu melekat dalam pribadi Idar, sehingga dia bercita-cita menjadi guru seperti beliau satu hari nanti.

***

“Aku harus menjadi guru juga satu hari nanti,” ceritanya ke Izah, saat mereka berjalan pulang dari sekolah.

Kakaknya tersenyum dan memberi semangat kepadanya. “Iya, kamu pasti bisa seperti Bu Rahma nanti. Kakak yakin dengan semangatmu.”

“Ah, buat apa Kakak jadi guru …,” Deri ikut serta dalam percakapan dua beradik itu.

“Kakak tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, hanya aku saja yang harus bersekolah tinggi.” Dengan angkuhnya, Deri terus mengutarakan pendapat dan membantah apa yang menjadi keinginan Idar.

Cuaca yang agak panas siang itu, membuat darah Idar naik ke ubun-ubun. Dia terlihat marah dan tidak setuju dengan pendapat Deri.

“Kenapa memang Kakak tidak boleh sekolah tinggi? Ayah mengizinkan Kakak untuk terus sekolah sampai kuliah. Kenapa kamu pula yang membantahnya?”

Tanpa berpikir panjang dan seenaknya, Deri memberikan alasannya.

“Kakak tu, perempuan. Buat apa perempuan sekolah tinggi, akhirnya kan harus duduk di rumah, jaga anak, jaga suami, jaga rumah. Rugi saja kalau Kakak sekolah, tidak kemana-mana pun ilmu yang Kakak pelajari itu. Hanya terbuang sia-sia di dapur …!”

Mendengar itu, Idar semakin emosional, tetapi kakaknya menghentikannya, saat dia hendak membalas kembali apa yang disampaikan Deri itu. Dia patuh dengan kakaknya dan menuruti untuk berhenti berdebat dengan Deri. Deri yang keras kepala, mau menang sendiri, bukanlah lawan yang enak diajak berdebat. Mendapat bantahan seperti itu, bukan makin membuat Idar surut keinginannya. Dia semakin semangat untuk terus meraih cita-citanya. Tekadnya semakin bulat.

Bersambung ….

Comments

Popular posts from this blog

SUNGAI CHINCHIN, KAMPUNG DI PINGGIR BANDAR

REWANG

BUMBU MI ACEH ALUBU (Review Produk)